Para pendukung menganggap hukuman mati harus dijatuhkan
kepada pelaku kejahatan berat. “Saat menjadi menteri, saya memerintahkan tembak
mereka yang terlibat narkotika,“ kata mantan Menteri Hukum Yusril Ihza
Mahendra.
Perdebatan
soal hukuman mati kembali muncul terkait keputusan Pengadilan Bali, yang Selasa
(22/01) lalu memvonis mati seorang nenek asal Inggris Lindsay Sandiford, 56
tahun, yang dinyatakan terbukti “secara sah dan meyakinkan“ bersalah
menyelundupkan narkotika.
Saat
menjabat Menteri Hukum Yusril Ihza Mahendra mendorong eksekusi mati. Yusril
Ihza Mahendra adalah Menteri Hukum Indonesia tahun 1999 hingga 2004. Dia adalah
menteri pertama era reformasi yang mengirim terpidana mati ke hadapan regu
tembak.
Awal
2013, Yusril mendesak Jaksa Agung agar segera melaksanakan eksekusi atas
delapan orang yang sudah inkrah divonis mati. Inilah cuplikan
wawancara Deutsche Welle dengan Yusril Ihza Mahendra.
Deutsche
Welle:
Kenapa
Anda mendukung hukuman mati?
Yusril
Ihza Mahendra:
Saya
menganggap sebuah kejahatan yang sangat serius dan membawa dampak luas bagi
kehidupan bangsa dan negara, tidak dapat ditolerir. Ancaman narkotika bagi
bangsa dan negara ini sangat serius, karena bisa menghancurkan masa depan
generasi muda, dan ini terkait kejahatan terorganisir internasional. Karena itu
saya setuju hukuman mati bagi mereka yang mengedarkan, tapi tidak bagi para
pemakai.
Deustche
Welle:
Jenis
kejahatan apa yang menurut Anda harus dihukum mati?
Yusril
Ihza Mahendra:
Narkotika
dan kejahatan melawan kemanusiaan seperti genosida, kejahatan perang, atau
pembersihan etnik. Akhir tahun 70-an saya terlibat perdebatan dengan almarhum
Mochtar Lubis (wartawan dan budayawan terkenal-red) ketika dia mendirikan
gerakan Hapus Hukuman Mati (HATI). Debat itu muncul berbarengan dengan invasi
Uni Soviet ke Afghanistan, dan saat itu Presiden Babrak Kamal (yang dijuluki
boneka Kremlin-red) bertanggungjawab menyebabkan ratusan ribu rakyat
Afghanistan terbunuh secara kejam. Saya bilang kepada Mochtar Lubis: apakah
orang seperti Babrak Kamal tidak pantas dihukum mati? Saya juga mendukung
hukuman mati kepada Khmer Merah yang membantai tiga juta orang. Kalau ada orang
yang membantai jutaan orang, kenapa kita keberatan mengeksekusi mati satu orang
yang menjadi otak pembantaian?
Deutsche
Welle:
Mereka
yang anti, menganggap hukuman mati terbukti tidak efektif. Eropa yang tidak
menerapkan hukuman mati tingkat kejahatannya rendah, sebaliknya negara seperti
Indonesia yang menerapkan hukuman mati, tingkat kejahatannya sangat tinggi?
Yusril
Ihza Mahendra:
Sampai
matipun, kita tidak akan pernah bisa sependapat. Secara filosofis dan
sosiologis sudah berbeda. Ini adalah soal sependapat atau tidak sependapat.
Kalau Anda kumpulkan seratus filsuf berdebat soal ini, maka barangkali 50 orang
akan menganggap hukuman mati perlu, sementara yang lain tidak. Maka untuk apa
diperdebatkan?
Deutsche
Welle:
Tapi
di luar keyakinan filosofis, apakah ada fakta yang bisa lebih meyakinkan bahwa
hukuman mati terbukti menciptakan efek jera?
Yusril
Ihza Mahendra:
Nggak
ada urusan dengan jera atau tidak jera… Tidak ada teori pemidanaan apapun yang
akan membuat orang jera, dan apakah jera adalah tujuan pemidanaan? Jadi
perbedaan filosofi itu tidak bisa dikompromikan.
Deutsche
Welle:
Kita
tahu, pengadilan di Indonesia sering menghasilkan vonis yang tidak adil. Kalau
terpidana sudah terlanjur dihukum mati dan belakangan terbukti tidak bersalah,
lantas bagaimana?
Yusril
Ihza Mahendra:
Proses
itu (hukuman mati-red) melewati berbagai tingkat. Selain itu, tidak ada
pengadilan yang memuaskan semua orang. Sebagai advokat saya juga sering tidak
puas dengan keputusan pengadilan (belakangan Yusril kembali aktif menjadi
pengacara-red). Jadi mau bilang apa lagi? Di manapun begitu. Kalau Anda lihat
sejarah, setelah Perang Dunia II, para pemenang mengadili Jerman, Italia dan
Jepang. Apa bisa orang yang menang perang mengadili yang kalah? Hehe… dunia ini
penuh dengan ketidakadilan…saya sebetulnya malas berdebat soal ini. Saya hanya
mengatakan ini soal pilihan, meski dalam konteks Indonesia hukuman mati itu
perlu.
Deutsche
Welle:
Kenapa
begitu?
Yusril
Ihza Mahendra:
Di
zaman saya menjadi Menteri Hukum, saya tembak orang-orang yang terlibat
narkotika. Ada beberapa yang sudah divonis mati meminta grasi kepada Presiden
dan lalu ditolak, keputusan inkrah. Kemudian saya koordinasikan,
lalu tembak.
Deutsce
Welle:
Ada
berapa orang?
Yusril
Ihza Mahendra:
Sekitar
8 orang (Data KONTRAS menyebut 6 orang yang dieksekusi mati pada masa Yusril
menjabat Menteri Hukum-red).
Deutsche
Welle:
Bagaimana
perasaan Anda ketika eksekusi dilaksanakan?
Yusril
Ihza Mahendra:
Sebagai pribadi saya sedih. Tapi
kalau melihat dampak kejahatan yang mereka lakukan, saya memang harus mengambil
keputusan seperti itu.
Tangal
24.01.2013
Penulis
Andy budiman
editor Ziphora Robin
Saya setuju dengan pak Yusril Ihza
Mahendra mengenai hukuman mati bagi para pelaku kejahatan berat (khususnya
kasus narkotika dan koruptor), karena para kejahatan berat tersebut ini merusak tatanan berbangsa dan bernegara. Residivis
pelanggar hukum berat tetap perlu mendapatkan hukuman mati. saya menilai
hukuman mati sangat diperlukan untuk memberikan efek jera kepada pelaku
kejahatan yang memiliki dampak buruk bagi kehidupan sosial masyarakat.
Banyak Kasus-kasus kejahatan
terhadap kemanusiaan itu sendiri mestinya dalam memberikan hukuman memberikan
pesan efek jera. Hukuman mati itu bisa dijatuhkan dengan persyaratan yang ketat
pula.
Hukuman mati dapat dijatuhkan dengan syarat penjahat yang
sudah pernah dipenjara mengulangi kejahatannya. Hal itu berlaku juga untuk
bandar narkoba dan koruptor sebab masalah yang menyangkut narkoba dan korupsi
termasuk dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Kedua kejahatan tersebut
merupakan perbuatan melanggar hukum yang wajib diberantas. Bukan berarti setiap
koruptor dan bandar narkoba itu dihukum mati, kan sudah ada kriteria pidana
mati.
Dan kata pak Prof Dr Denny
Indrayana : Hukuman mati hingga kini
masih menjadi perdebatan yang tak pernah selesai. Di Indonesia, hukuman mati
sebenarnya tidak bertentangan atau menyalahi UUD 1945. Mahkamah Konstitusi pun
mengesahkan (http://nasional.kompas.com/read/2012/09/21/19582759/Denny.Indrayana.Hukuman.Mati.Tak.Menyalahi.UUD.45)
Karena itu, menurut Wamenkumham Prof Dr Denny Indrayana, pada
dasarnya tidak ada persoalan hukum berkaitan dengan hukuman mati bagi koruptor
di Indonesia. Pada pasal dan ayat UU Tipikor sebenarnya sudah tercantum
mengenai hukuman mati yang bisa diterapkan terutama bagi yang telah melakukan
tindakan merugikan negara.
Meski begitu, ada syarat-syarat tertentu bagi koruptor
hingga ia bisa dikenai hukuman mati. Antara lain, jika melakukan korupsi pada
saat terjadi bencana, korupsi saat negara sedang dilanda krisis ekonomi, atau
seorang residivis dalam arti telah melakukan tindak pidana korupsi secara
berulang.
0 komentar:
Posting Komentar